Langsung ke konten utama

Obat Dewa yang Membawa Bara


(Mocha)

Anda mungkin tak asing dengan julukan obat dewa, sebutan yang disematkan pada obat yang dianggap manjur untuk segala macam penyakit. Terlebih, obat yang bukan golongan obat bebas ini mudah didapatkan di toko obat bahkan apotek tanpa resep dengan harga ekonomis. Jadi, klop kan? Ampuh, mudah, sekaligus murah. Namun, apakah benar obat dewa mampu mengatasi penyakit tanpa menyebabkan masalah yang lebih pelik?

Kortikosteroid, itulah nama asli obat dewa. Kortikosteroid merupakan obat yang mulanya disintesis dari hormon steroid. Hormon steroid dihasilkan oleh dua kelenjar kecil di atas ginjal yang dinamai dengan kelenjar adrenal. Awalnya fungsi hormon steroid lama tak diketahui. Namun bila kelenjar adrenal terluka, terjadi penyakit defisiensi yang mengakibatkan kematian. Tiga orang yang akhirnya berhasil mengisolasi dan menganalisisnya adalah Edward Calvin Kendall, Tadeus Reichstein, dan Philip Showalter Hench pada pertengahan 1930-an. Kortikosteroid kemudian digunakan untuk pengobatan artritis reumatoid dan penyakit radang lain sejak akhir tahun 1940-an.

Kortikosteroid dimanfaatkan sebagai antiinflamasi dan imunosupresi. Dua fungsi ini sebenarnya saling berhubungan. Sistem imun bekerja terhadap benda asing yang masuk ke tubuh, yang ada kalanya menyebabkan inflamasi. Inflamasi atau peradangan merupakan kondisi normal tubuh ketika merespon adanya sejumlah pemicu misalnya stimulus radiasi dan kimia, infeksi, cedera akibat panas dan fisik lain, atau reaksi imunologis.

Antiinflamasi atau antiradang bekerja dengan cara menekan peradangan. Peradangan biasanya disertai dengan rasa nyeri, sehingga antiinflamasi dapat mencegah rasa sakit akibat peradangan. Efek antiinflamasi pada kortikosteroid berguna untuk mengendalikan serangan asma juga mengatasi nyeri akibat artritis rematoid, tapi tidak dapat menghentikan berkembangnya artritis rematoid.

Sementara imunosupresi berarti menekan aktivitas sistem imun. Dalam kerja normal, sistem imun hanya menyerang benda asing yang membahayakan tubuh seperti alergen atau kuman penyakit. Namun pada orang tertentu, sistem imun bekerja tak sesuai harapan hingga menyerang tubuh sendiri tanpa bisa membedakan kawan dan lawan. Fungsi kortikosteroid inilah yang diberdayakan untuk mengendalikan penyakit alergi dan autoimun agar tidak menggempur bagian tubuh yang tak berdosa. Selain dua fungsi tadi, lantaran kortikosteroid merupakan sintesis hormon, kortikosteroid dimanfaatkan untuk terapi pengganti hormon.

Ada beragam nama obat yang menjadi bagian dari kortikosteroid. Diantara yang banyak tersebut, nama yang cukup populer adalah betametason, budesonid, kortisol, deksametason, metil prednisolon, prednisolon, prednison, dan triamsinolon. Dari bermacam nama obat tersebut, kortikosteroid dapat ditemukan dalam bentuk oral (penggunaan melalui mulut seperti tablet), injeksi (disuntikkan ke dalam tubuh), topikal (digunakan pada permukaan kulit semacam krim), atau inhalasi (dihirup melalui hidung seperti semprot).

Mengapa orang sering menggunakan kortikosteroid?
Seorang teman menanyakan obat sakit gigi di suatu grup Whatsapp yang berisi anggota dengan beragam profesi. Ada anggota yang menjawab asam mefenamat sebagai obat pengurang rasa nyeri. Berdasar pengalamannya saat sakit gigi, ada juga yang menyebut suatu merek tablet obat dengan kandungan deksametason. Dalam hal ini, deksametason dimanfaatkan sebagai antiradang yang menimbulkan nyeri pada gusi.

Pada dasarnya, sangat tidak tepat menggunakan kortikosteroid non topikal untuk swamedikasi (pengobatan sendiri tanpa melibatkan dokter). Selain penggunaan topikal, kortikosteroid hanya dapat dibeli di apotek dengan menyerahkan resep dokter. Tidak hanya sakit gigi, kasus lain yang sering terjadi ialah penggunaan deksametason dan metil prednisolon untuk mengatasi pilek dan alergi ringan. Ada pula yang menggunakan kortikosteroid untuk meredakan nyeri pada persendian akibat artritis, pun sebab tingginya asam urat.

Disamping antibiotik, golongan obat keras yang rawan digunakan asal memang golongan kortikosteroid. Efek manjur yang segera diterima membuat orang mengandalkan kortikosteroid tiap sakit kembali dirasa. Tidak hanya masyarakat yang meminta langsung obat kortikosteroid, ada juga apotek yang memberikan bahkan menyarankan kortikosteroid pada keluhan penyakit seperti tadi. Padahal kortikosteroid secara jelas merupakan obat keras yang tidak bisa sembarang digunakan.

Ampuhnya kortikosteroid dalam menekan peradangan dan aktivitas imun dalam waktu relatif singkat menjadi sebab obat ini banyak diminati, hingga menjadi obat andalan setiap hari. Sayangnya demi kenyamanan durasi sekali telan, efek samping yang tak sekadar bualan terlewat diacuhkan.

Mengapa penggunaan kortikosteroid dibatasi?
Kortikosteroid merupakan bagian dari golongan obat keras, sehingga untuk mendapatkannya harus menggunakan resep dokter. Pembatasan penggunaan kortikosteroid ditetapkan lantaran obat ini memiliki banyak efek samping, dari level ringan hingga serius. Oleh karena itu perlu anjuran dokter dalam penggunaannya dengan mempertimbangkan antara manfaat dan kerugian yang akan diterima.

Kerja kortikosteroid mencakup wilayah yang tak sempit. Banyak sistem tubuh yang turut terlibat, seperti metabolisme karbohidrat, protein, dan lemak; pemeliharaan keseimbangan cairan dan elektrolit; pemeliharaan sistem jantung dan pembuluh darah, sistem imun, ginjal, otot rangka, sistem endokrin, dan sistem saraf. Dengan demikian, efek samping sangat mungkin berhubungan dengan sejumlah sistem dan organ tadi.

Efek samping kortikosteroid umumnya terjadi pada penggunaan obat secara sistemik, yaitu obat yang masuk ke dalam pembuluh darah. Obat oral dan injeksi secara pasti akan masuk dalam pembuluh darah. Sementara obat topikal dan inhaler, meski tak banyak, akan diserap dan masuk sistemik dalam jumlah yang cukup menghasilkan efek sistemik pula.

Obat dewa dan bara yang dikandungnya
Berdasarkan penyebab utamanya, terdapat dua golongan efek samping yang timbul akibat penggunaan kortikosteroid, yaitu efek akibat penghentian terapi dan efek akibat penggunaan jangka panjang. Keduanya sama-sama berpotensi mengancam jiwa, sehingga pertimbangan antara manfaat dan risiko relatif tiap pasien tak layak ditinggalkan.

Insufisiensi adrenal akut merupakan satu masalah yang membahayakan jiwa. Masalah ini terjadi akibat penghentian terapi kortikosteroid secara mendadak setelah penggunaan dosis tinggi atau periode panjang. Kelenjar adrenal tubuh yang biasa terbantu adanya kortikosteroid akan kaget jika serta-merta kortikosteroid dihentikan. Oleh karena itu, penghentian terapi kortikosteroid oleh dokter dilakukan dengan penurunan dosis maupun frekuensi secara berangsur-angsur. Hal ini dilakukan untuk melatih kelenjar adrenal agar mampu memerankan fungsinya lagi. Pemulihan insufisiensi adrenal akut dapat berlangsung mingguan, bulanan, bahkan bisa mencapai tahunan.

Efek samping serius dan umum yang terjadi akibat penggunaan kortikosteroid jangka panjang adalah osteoporosis, yaitu keadaan tulang yang keropos dan lapuk. Efek samping osteoporosis dapat terjadi pada semua rentang usia.

Selain osteoporosis, osteonekrosis atau penyakit kematian pada persendian juga relatif umum terjadi karena penggunaan kortikosteroid cukup lama dengan dosis tinggi pula. Seiring peningkatan dosis dan durasi penggunaan, akan meningkatkan risiko terjadinya osteonekrosis. Bahkan durasi singkat dengan dosis tinggi, juga rentan menyebabkan osteonekrosis. Jika sudah terjadi, osteonekrosis akan terus memburuk dan membutuhkan penggantian persendian untuk mengatasinya.

Kortikosteroid juga dapat menyebabkan perbaikan jaringan dan fungsi imun terganggu. Akibatnya, memperlambat proses penyembuhan luka dan rentan terserang infeksi, baik infeksi bakteri, jamur, maupun virus. Efek antiinflamasi, analgesik, dan antipiretik menyebabkan gejala infeksi tertutupi, sehingga mengaburkan deteksi awal terhadap infeksi. Menstruasi tidak teratur hingga tidak menstruasi serta gangguan pada indra penglihatan yang menyebabkan terjadi glukoma, miopati, dan katarak pun dapat terjadi akibat penggunaan kortikosteroid dosis tinggi atau jangka panjang.

Efek samping lain akibat penggunaan kortikosteroid jangka panjang selain yang telah disebut sebelumnya antara lain ketidakseimbangan cairan dan elektrolit, tekanan darah tinggi, peningkatan kadar gula darah yang menyebabkan diabetes melitus, gangguan perilaku, penghentian pertumbuhan sementara atau permanen, dan ciri fisik khas akibat overdosis kortikosteroid seperti perubahan pengelolaan lemak, jerawat, ekimosis (bercak pendarahan pada kulit atau selaput lendir), stria (garis belang pada kulit), dan hirsutisme (pertumbuhan rambut yang abnormal). Penggunaan kortikosteroid oleh ibu hamil juga dapat menyebabkan penekanan adrenal janin dan bayi baru lahir.

Kejadian efek samping kortikosteroid menjadi makin tinggi jika dosis ditingkatkan. Namun, penggunaan dosis kecil dalam jangka panjang berisiko lebih besar terhadap timbulnya efek samping daripada penggunaan dengan dosis besar untuk jangka waktu pendek. Dosis besar dinilai berdasarkan penggunaan yang melebihi jumlah yang ditetapkan, sementara penggunaan lebih dari tiga minggu dianggap sebagai penggunaan jangka panjang.

Memperhatikan risiko keamanan akibat efek samping yang ditimbulkan serta aturan penggunaan yang tak bisa sembarang, kortikosteroid oral digolongkan dalam obat keras. Penggolongan ini mengharuskan kortikosteroid hanya dapat diperoleh dengan resep dokter. Sayangnya, masih banyak apotek yang menyerahkan bahkan menganjurkan kortikosteroid diterima masyarakat tanpa resep dokter. Untuk mengatasi nyeri atau alergi ringan sebaiknya menggunakan obat non kortikosteroid yang relatif lebih aman. Dalam hal ini, apoteker dapat membantu menentukan pilihan obat yang tepat.

Penggunaan kortikosteroid memang sangat diperlukan untuk sejumlah penyakit tertentu. Bahkan untuk penyakit yang diperbolehkan, kortikosteroid masih memerlukan pertimbangan. Maka tak selayaknya kortikosteroid digunakan tanpa melibatkan ahlinya. Kortikosteroid boleh saja dianggap sebagai obat setingkat dewa, sesuatu yang dianggap kuat lagi berkuasa. Tapi kita tak boleh lupa juga, bahwa ada dewa yang memiliki peran menghancurkan, mungkin seperti itu makna lain sebutan ‘dewa’ untuk kortikosteroid.


Referensi:

Gilman, Alfred Goodman Ed. Penerjemah: Tim alih bahasa sekolah Farmasi ITB. 2012. Goodman & Gilman Dasar Farmakologi Terapi, Edisi 10, Volume 2 dan 4. Jakarta: EGC.

NHS Inform. 2018. Corticosteroid

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Resistensi: Rela Gunakan Antibiotik dengan Abai?

( Mocha ) Kenapa sih dokter kadang suka banyak mikir dulu sebelum meresepkan antibiotik? Mengapa juga apoteker jadi rempong ketika hendak menyerahkan antibiotik, apalagi yang tanpa resep, bisa ogah banget. Namun tak sedikit dokter yang mudah menuliskan resep antibiotik. Demam baru sehari atau dua hari, diare sebentar, batuk sekejap dikasih antibiotik. Begitu pula ada apoteker yang baru diceritakan pendek tentang penyakit pasien langsung disarankan antibiotik. Lebih-lebih pasien bisa menyebutkan nama antibiotiknya, cus deh antibiotik langsung diberikan oleh 'penjaga’ apotek. Pernah menemukan kondisi pertama dimana mereka para tenaga kesehatan sulit merelakan antibiotik, atau selalu ketemu dengan kondisi kedua yang berkebalikan dengan keadaan pertama? Kalau kondisi pertama sering Anda temui, bersyukurlah bahwa Anda diperhatikan oleh mereka, para tenaga kesehatan. Antibiotik merupakan satu dari sekian banyak jenis obat. Antibiotik berguna untuk mencegah dan mengobati i...

Idulfitri, Hari Raya Berbuka

Dokumentasi pribadi Jelang Idulfitri tampak kesibukan yang makin padat, terutama di area penggalasan seperti pasar, warung, pedagang kaki lima, sampai toko obat. Meski arus perbelanjaan daring marak, berbagai tempat belanja luring tak kalah sesak. Walau harga kadang tak wajar, jumlah belanjaan seolah dibeli dalam kondisi tak sadar. Busana dan seluk-beluk makanan (bahan mentah, setengah jadi, atau siap santap) menjadi objek perburuan. Kemudian disusul dengan kebutuhan non harian semacam perkakas dapur, alat dan bahan bangunan, isian rumah, hingga pernik yang memperindah. Rangak ini makin memuncak tatkala Idulfitri tinggal seputaran bumi. Akan tetapi, perihal isi perut tetap menjadi perkara utama. Idulfitri memang tak lepas dari acara makan-makan. Halal bi halal, reuni, silaturahmi, hingga beragam resepsi kerap dilangsungkan pada bulan yang diawali dengan Idulfitri. Semua acara, atau sebutlah pesta tersebut tentu tak lekang dari kehadiran makanan. Idulfitri—ditulis tan...